Jawabannya cuma satu, karena orang Indonesia cenderung selalu membutuhkan kepastian. Pacaran melulu, ujungnya apa? Bila cuma menjadi kekasih, nanti bagaimana nasib anak yang lahir dari hubungan tersebut, misal? Bagaimana bila di antara Anda dan pasangan ternyata harus terpisah kota akibat pekerjaan masing-masing, padahal belum menikah? Tidak pasti.
Itulah ketakutan yang dirasakan mayoritas orang Indonesia. Benar atau tepat sekali? Coba pikir, pola ketakutan ini sudah mulai terjadi ketika masa pacaran baru akan dimulai. Apakah Anda puas hanya kerap pergi berdua dengan si A selama berbulan-bulan, tanpa adanya status istimewa sebagai seorang pacar? Tentu tidak. Anda atau pasangan selalu ketakutan, bila masing-masing akan 'direbut' oleh orang lain. Untuk itulah Anda perlu menyegel si dia. Mematenkannya dan melabelinya sebagai milik Anda. Dengan demikian, Anda dan para lajang lainnya berlomba untuk lebih dulu 'menembak' sang pujaan hati, menyatakan rasa cinta dan bertanya apa dirinya bersedia menjadi kekasih Anda?
Hal ini tentu sangat berbeda dengan orang di negara barat. Bila Anda yang tumbuh dan dibesarkan di budaya timur selalu ketakutan akan 'kepastian', maka orang barat hanya menitikberatkan pada perasaan itu sendiri. Pola pikir yang berbeda inilah yang mendasari perbedaan signifikan gaya berpacaran 'bule' dan Anda.
Orang barat tidak mengenal istilah 'menembak' ketika akan memacari seseorang. Bagi mereka, bila ada ketertarikan, maka mereka akan mengajak orang tersebut untuk pergi berdua. Bisa berjalan-jalan ke suatu tempat, sekedar minum kopi bersama di suatu kafe, atau pada umumnya dilakukan dengan makan malam bersama di sebuah restoran romantis. Ajakan pergi berdua inilah yang nantinya dikategorikan sebagai 'kencan' oleh kedua belah pihak, bila mereka semakin intens menghabiskan waktu berdua.
Mereka tidak butuh pengakuan atau pengukuhan, "Ya, aku mau jadi pacarmu." Toh, tidak akan ada seseorang yang mau terus menerus menghabiskan waktu berdua dengan orang tertentu dalam waktu lama, bila tidak memiliki perasaan khusus. Keduanya pun akan dengan sendirinya memagari diri dari 'kandidat' lain, karena telah jatuh cinta dan menjalin hubungan dengan seseorang, tanpa perlu adanya tahap 'menembak' sebelumnya.
Bahkan mereka tidak membutuhkan adanya kepastian untuk terikat dalam institusi pernikahan. Orang barat beranggapan, bukan pernikahan yang akan menjamin keutuhan dan keabadian hubungan mereka, namun rasa cinta itu sendirilah yang akan melakukan segalanya. Bayangkan, bila Anda mencintai seseorang, maka Anda tidak akan merusak kepercayaannya. Anda pun akan selalu berusaha membuatnya bahagia dan mengusahakan yang terbaik untuk hubungan agar terus berlangsung (dengan atau tanpa pernikahan). Sebaliknya, bagaimana cara memupuk cinta? Mereka akan saling memberikan kepercayaan dan toleransi.
Bagi orang barat mungkin tidak akan pernah terbentuk suatu hubungan tanpa adanya perasaan atau rasa yang telah mati. Sedang bagi orang Indonesia, hubungan akan selalu ada selama status masih berlaku, tidak perduli apakah rasa cinta itu masih ada atau telah mati lama. Jadi, penting atau tidaknya status dalam suatu hubungan, kembali tergantung pada pola pikir Anda masing-masing. Manakah yang menurut Anda terbaik untuk diri sendiri dan juga pasangan?
Lantas, bagaimana dengan orang Indonesia yang menjalin hubungan istimewa dengan orang barat? Entahlah. Mungkin mereka meleburkan kedua pola pikir yang berbeda itu dan membentuk suatu pemikiran baru hasil kesepakatan bersama. Mau coba?